Hikayat Raja Balad
Pada
zaman dahulu, terdapat seorang raja bernama Balad, dia memiliki permaisuri
bernama Irah,dan anak bernama Jawir, juga seorang perdana menteri yang terkenal
sholeh dan rajin beribadah yang bernama Ilad. Pada suatu malam, sang raja
bermimpi buruk, ia bermimpi buruk 8 kali dalam 1 malam. Sang raja pun sangat
ketakutan karena mimpi itu.
Siangnya,
Raja Balad mengundang para brahmana untuk menafsirkan mimpinya. Setelah raja
menceritakan mimpinya, para brahmana pun meminta maaf karena tidak mengetahui
apa tafsir mimpi Raja Balad, “Maafkan hamba tuanku, sungguh itu mimpi yang
sulit untuk ditafsirkan, tolong berikan kami waktu tambahan selama tujuh hari
agar kami bisa memeriksa semua pengetahuan, buku-buku kuno yang kami punya
untuk menafsirkan mimpi baginda ”
“Baiklah,
ku beri kalian waktu selama tujuh hari”. Jawab sang raja
Setelah
itu para brahmana pun memohon izin, pamit kembali ke rumah mereka. Setelah
sampai di rumah, merekapun bermusyawarah.
“Sekarang,
kita mendapatkan jalan untuk balas dendam kepada raja yang jahat itu,” kata
seorang yang tertua di antara mereka.
“Belum
lama ini, dia telah membinasakan ribuan kaum kita. Sekarang, dia malah meminta
tolong ke kita. Baiklah kita katakan kepadanya bahwa mimpi itu mempunyai
tafsiran yang jelek. Akan ada delapan macam bahaya yang akan menimpa dirinya kalau
dia tidak mau mengorbankan jiwa Permaisuri Irah ,jiwa anaknya yaitu Jawir ,
jiwa Ilad perdana mentri yang dia percayai, lalu gajah dan kuda kesayangannya. Semua
itu harus dia bunuh, lalu darahnya dimasukkan kedalam sebuah sumur. Kita suruh
dia mandi disitu. Setelah itu barulah kita datang mengeluarkannya dari sumur
darah, kita bersihkan badannya dan kita asapi dengan bau-bauan agar dia percaya
kita sedang melakukan ritual. Kita jelaskan kepadanya, hanya itulah jalan yang
dapat menyelamatkannya dari bahaya dan membuatnya bisa tetap duduk diatas
singgasana. Kalau nasehat itu dia turuti, maka matilah semua orang yang dia
sayangi, setelah itu mudahlah bagi kita untuk membunuhnya.”
Setelah
tujuh hari, para brahmana datang kembali untuk menghadap raja dan menyampaikan
hasil musyawarahnya tujuh hari yang lalu, “Maaf tuanku, setelah kami periksa
kitab-kitab tua yang kami miliki, barulah kami mengerti tentang tafsiran mimpi
baginda” ucap yang tertua diantara para brahmana.
Sang
Raja amat terkejut mendengar penjelasan dari para brahmana. “apa gunanya aku
hidup, kalau semua yang kucintai harus kubunuh dengan tanganku. Aku pastilah
akan mati juga, hidup di dunia tidak akan lama dan tidak selamanya juga aku
menjadi raja. Bagiku berpisah dengan yang kusayangi sama saja dengan mati”.
Ujar sang baginda dengan suara yang jelas menunjukan kesedihannya.
“Maaf,
tuanku jika boleh hamba ingin berbicara lagi.” Ucap yang tertua di antara para
brahmana.
“Katakanlah
apa yang ada dalam hatimu,” jawab sang raja.
“Menurut
hamba, rasanya lebih utama jika baginda menjaga diri sendiri, sehingga bisa tetap
duduk di atas singgasana dan bahagia. Ketahuilah manusia cinta kepada dunia
karena cinta kepada dirinya sandiri, dan orang lain dicintainya semata-mata
hanya untuk menyenangkan dirinya sendiri. Oleh karena itu, janganlah nyawa
beberapa manusia tuanku lebihkan dari pada nyawa tuanku sendiri, dan
keselamatan kerajaan tuanku,” jawab sang brahmana.
Raja
semakin sedih mendengar perkataan Brahmana. Lalu dia pun masuk kedalam kamar, sambil
menangis tersedu-sedu.
“Entahlah,
manakah yang lebih berharga bagiku, kerajaankah atau orang orang yang kusayangi.
Baiklah, jika kubunuh mereka semua dan aku tetap menjadi seorang raja, siapakah
yang bisa menjamin bahwa aku akan berbahagia selamanya?. Tak ada seorang raja pun
yang duduk di atas singgasana selamanya. Apa gunanya aku hidup kalau istri dan
anakku, Irah dan Jawir sudah tidak ada
lagi?. Bagaimana aku bisa memerintah kalau perdana menteriku, Ilad sudah tidak
ada lagi?. Apa gunanya hidup bagiku sepeninggal mereka ?” ucap Raja Balad
dengan perasaan sedih.
Komentar
Posting Komentar